Tahapan Kebakaran Peluruhan: Memahami Fase Kritis Penurunan Api |

Daftar Isi :
-
Pengertian Tahapan Peluruhan dalam Kebakaran |
-
Karakteristik Utama Fase Peluruhan |
-
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peluruhan |
-
Bahaya dan Risiko pada Tahapan Peluruhan |
-
Tanda-Tanda Visual dan Fisik Peluruhan |
-
Strategi Penanganan pada Fase Peluruhan |
-
Regulasi dan Standar Keselamatan Indonesia |
-
Studi Kasus dan Implementasi Praktis |
-
Pelatihan dan Sertifikasi K3 untuk Penanganan Kebakaran |
Pengertian Tahapan Peluruhan dalam Kebakaran
Tahapan peluruhan atau decay phase merupakan fase kritis dalam siklus kebakaran yang terjadi ketika bahan bakar mulai habis atau pasokan oksigen berkurang secara signifikan.
Menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman dan Persyaratan Umum Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3), pemahaman mendalam tentang tahapan kebakaran ini sangat penting untuk perencanaan tanggap darurat yang efektif.
Pada fase ini, intensitas api mulai menurun, tetapi bukan berarti bahaya telah berlalu sepenuhnya. Justru, tahapan peluruhan memiliki karakteristik unik yang memerlukan perhatian khusus dari petugas pemadam kebakaran dan tim tanggap darurat.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 Tahun 2012 menekankan pentingnya identifikasi tahapan kebakaran untuk strategi penanggulangan yang tepat sasaran.
Fase peluruhan berbeda dengan fase pemadaman total karena masih terdapat potensi kebakaran ulang (re-ignition) jika kondisi memungkinkan.
Hal ini menjadikan tahapan ini sebagai periode transisi yang memerlukan pemantauan ketat dan penanganan yang hati-hati. Pemahaman yang tepat tentang dinamika peluruhan dapat mencegah kerugian lebih lanjut dan memastikan keselamatan personel yang terlibat dalam operasi pemadaman.
Karakteristik Utama Fase Peluruhan
Tahapan peluruhan memiliki beberapa karakteristik khusus yang membedakannya dari fase kebakaran lainnya.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja mengidentifikasi beberapa ciri utama fase ini yang perlu dipahami oleh petugas K3.
Penurunan Intensitas Api menjadi karakteristik paling mencolok pada tahapan peluruhan. Tinggi nyala api secara bertahap menurun dari puncak intensitas yang terjadi pada fase fully developed fire.
Proses ini tidak selalu linear, tetapi dapat menunjukkan fluktuasi bergantung pada ketersediaan bahan bakar dan kondisi ventilasi di area kebakaran.
Perubahan Warna dan Pola Nyala juga menjadi indikator penting. Warna api yang sebelumnya didominasi oleh orange kemerahan dengan intensitas tinggi, berangsur berubah menjadi lebih redup dengan dominasi warna kuning kebiruan.
Pola nyala menjadi lebih tidak teratur dan cenderung berkumpul di area-area tertentu yang masih memiliki bahan bakar tersisa.
Peningkatan Produksi Asap paradoksnya terjadi pada fase peluruhan. Meskipun intensitas api menurun, produksi asap dapat meningkat karena pembakaran yang tidak sempurna akibat kekurangan oksigen.
Asap yang dihasilkan cenderung lebih tebal dan gelap, mengandung lebih banyak partikel karbon dan senyawa berbahaya lainnya.
Fluktuasi Suhu menjadi karakteristik unik lainnya. Suhu ruangan mulai menurun secara bertahap, tetapi dapat terjadi peningkatan lokal di area-area tertentu jika terdapat kantong bahan bakar yang tiba-tiba mendapat pasokan oksigen.
Fenomena ini memerlukan pemantauan thermal yang kontinyu untuk mencegah kejutan termal yang dapat membahayakan petugas.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peluruhan
Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja terhadap Bahaya Kebakaran, beberapa faktor utama mempengaruhi proses peluruhan kebakaran.
Pemahaman faktor-faktor ini sangat penting untuk prediksi perilaku kebakaran dan perencanaan strategi penanganan yang efektif.
Ketersediaan Bahan Bakar merupakan faktor dominan yang menentukan kecepatan dan karakteristik peluruhan. Jenis bahan bakar, jumlah yang tersisa, dan distribusi spasialnya akan mempengaruhi pola peluruhan.
Bahan bakar padat seperti kayu atau kertas akan menunjukkan pola peluruhan yang berbeda dengan bahan bakar cair seperti minyak atau bensin.
Kondisi Ventilasi memiliki peran krusial dalam menentukan tingkat peluruhan. Ventilasi yang baik dapat mempercepat proses peluruhan dengan mengurangi akumulasi asap dan gas panas, tetapi juga dapat mempertahankan pembakaran jika masih terdapat bahan bakar yang cukup.
Sebaliknya, ventilasi yang buruk dapat memperlambat peluruhan tetapi meningkatkan risiko akumulasi gas berbahaya.
Faktor Struktural Bangunan juga berpengaruh signifikan. Desain bangunan, material konstruksi, dan sistem proteksi kebakaran yang terpasang akan mempengaruhi karakteristik peluruhan.
Bangunan dengan sistem sprinkler otomatis akan menunjukkan pola peluruhan yang berbeda dibandingkan dengan bangunan tanpa sistem proteksi aktif.
Kondisi Cuaca untuk kebakaran di area terbuka menjadi faktor tambahan yang tidak boleh diabaikan. Kelembaban udara, kecepatan angin, dan suhu ambient dapat mempengaruhi proses peluruhan secara signifikan.
Angin kencang dapat mempercepat peluruhan dengan meningkatkan kehilangan panas, tetapi juga dapat menyebarkan percikan api ke area lain.
Bahaya dan Risiko pada Tahapan Peluruhan
Tahapan peluruhan bukan berarti akhir dari bahaya kebakaran. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 1 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Penggunaan dan Perawatan Alat Pelindung Diri menegaskan pentingnya kewaspadaan tinggi pada fase ini karena berbagai risiko yang masih mengancam.
Risiko Kebakaran Ulang merupakan ancaman utama pada tahapan peluruhan. Bahan bakar yang masih tersisa dapat terbakar kembali jika mendapat pasokan oksigen yang cukup.
Hal ini dapat terjadi akibat perubahan kondisi ventilasi, penanganan yang tidak tepat, atau adanya sumber panas eksternal yang memicu pembakaran ulang.
Bahaya Struktural sering kali mencapai puncaknya pada fase peluruhan. Struktur bangunan yang telah melemah akibat paparan panas tinggi dapat mengalami keruntuhan mendadak ketika suhu mulai menurun.
Fenomena thermal shock dapat menyebabkan retak atau patah pada elemen struktural yang sebelumnya tampak stabil.
Kontaminasi Udara menjadi risiko serius yang sering terabaikan. Asap yang dihasilkan pada fase peluruhan mengandung konsentrasi tinggi gas beracun seperti karbon monoksida, hidrogen sianida, dan berbagai senyawa organik volatil.
Paparan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan keracunan serius bahkan pada konsentrasi yang relatif rendah.
Bahaya Listrik tetap mengancam jika sistem kelistrikan bangunan belum sepenuhnya dimatikan.
Kabel-kabel yang rusak akibat panas dapat menyebabkan korsleting yang memicu kebakaran ulang atau memberikan kejutan listrik pada petugas yang tidak menggunakan APD yang tepat.
Tanda-Tanda Visual dan Fisik Peluruhan
Identifikasi yang tepat terhadap tanda-tanda peluruhan sangat penting untuk pengambilan keputusan operasional yang efektif.
Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-3989-2000 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan Sistem Sprinkler Otomatis untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran memberikan pedoman identifikasi visual yang dapat digunakan petugas lapangan.
Perubahan Warna Asap menjadi indikator visual yang paling mudah diamati. Asap yang awalnya berwarna hitam pekat dengan volume besar mulai berubah menjadi abu-abu muda dengan volume yang berkurang.
Perubahan ini menunjukkan bahwa proses pembakaran mulai berkurang intensitasnya, meskipun belum sepenuhnya padam.
Penurunan Tinggi Nyala dapat diamati secara visual dari jarak yang aman. Nyala api yang sebelumnya mencapai langit-langit atau keluar dari jendela mulai menurun ketinggiannya.
Pola nyala juga berubah dari yang sebelumnya merata menjadi lebih sporadis dan terlokalisasi di area-area tertentu saja.
Perubahan Suara Kebakaran memberikan indikasi audio yang valuable. Suara gemuruh yang keras dari pembakaran intensif berangsur berkurang menjadi suara berderak yang lebih tenang.
Namun, petugas harus waspada terhadap suara-suara tidak biasa yang dapat menunjukkan adanya perubahan kondisi struktural atau sistem utilitas.
Penurunan Radiasi Panas dapat dirasakan oleh petugas yang berada di area sekitar kebakaran. Intensitas panas yang dipancarkan menurun secara bertahap, memungkinkan petugas untuk mendekati area kebakaran dengan lebih aman.
Namun, penurunan ini harus dikonfirmasi dengan pengukuran thermal yang akurat untuk memastikan keamanan operasional.
Strategi Penanganan pada Fase Peluruhan
Penanganan yang tepat pada fase peluruhan memerlukan pendekatan yang berbeda dari fase-fase sebelumnya. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 9 Tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Ruang Terbatas memberikan panduan operasional yang dapat diadaptasi untuk penanganan kebakaran pada fase peluruhan.
Pemantauan Berkelanjutan menjadi prioritas utama dalam strategi penanganan. Petugas harus melakukan observasi visual dan pengukuran suhu secara kontinyu untuk memastikan bahwa proses peluruhan berjalan normal tanpa indikasi kebakaran ulang.
Penggunaan thermal imaging camera sangat direkomendasikan untuk deteksi hotspot yang tidak terlihat secara visual.
Pendinginan Terkontrol perlu dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah thermal shock yang dapat menyebabkan kerusakan struktural. Aplikasi air atau foam harus dilakukan secara bertahap dan merata untuk menghindari penurunan suhu yang terlalu drastis.
Teknik water misting atau fine spray lebih efektif dibandingkan dengan penyemprotan air bertekanan tinggi.
Ventilasi Strategis harus dikelola dengan cermat untuk mengeluarkan asap dan gas beracun tanpa memberikan pasokan oksigen berlebih yang dapat memicu kebakaran ulang.
Penggunaan positive pressure ventilation (PPV) atau negative pressure ventilation (NPV) harus disesuaikan dengan kondisi spesifik setiap kejadian.
Persiapan Overhaul dapat dimulai pada fase peluruhan lanjut ketika suhu dan intensitas api telah menurun secara signifikan. Namun, kegiatan overhaul harus dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menghindari gangguan terhadap material yang masih panas atau dapat terbakar kembali.
Regulasi dan Standar Keselamatan Indonesia
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai regulasi dan standar yang mengatur penanganan kebakaran, termasuk fase peluruhan.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 8 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bekerja di Ketinggian menjadi salah satu regulasi yang relevan untuk operasi pemadaman kebakaran.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja menjadi landasan hukum utama yang mengatur aspek keselamatan dalam penanganan kebakaran.
Pasal 3 dan 4 UU ini menegaskan kewajiban pengusaha untuk menyediakan tempat kerja yang aman dan sehat, termasuk perlindungan terhadap bahaya kebakaran.
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk implementasi program K3, termasuk prosedur tanggap darurat kebakaran.
PP ini menegaskan pentingnya pelatihan dan sertifikasi untuk petugas yang menangani situasi darurat.
Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-3985-2000 tentang Tata Cara Perencanaan, Pemasangan, dan Pengujian Sistem Pipa Tegak dan Slang Pemadam Kebakaran memberikan pedoman teknis untuk sistem proteksi kebakaran yang dapat mempengaruhi karakteristik peluruhan kebakaran.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintah Daerah juga mengatur aspek-aspek keselamatan kebakaran di fasilitas pemerintah yang perlu diperhatikan dalam penanganan fase peluruhan.
Studi Kasus dan Implementasi Praktis
Pemahaman teoretis tentang tahapan peluruhan perlu didukung dengan pembelajaran dari studi kasus nyata. Beberapa insiden kebakaran di Indonesia memberikan pelajaran berharga tentang karakteristik dan penanganan fase peluruhan.
Kasus Kebakaran Gedung Perkantoran Jakarta pada tahun 2019 menunjukkan pentingnya identifikasi yang tepat terhadap tahapan peluruhan.
Petugas pemadam kebakaran mengalami kesulitan dalam menentukan kapan aman untuk memasuki bangunan karena kurangnya pemahaman tentang karakteristik peluruhan. Kejadian ini menekankan pentingnya pelatihan yang memadai untuk petugas lapangan.
Insiden Kebakaran Pabrik Tekstil Bandung memberikan pembelajaran tentang risiko kebakaran ulang pada fase peluruhan. Bahan bakar berupa serat tekstil yang tersisa mengalami pembakaran ulang ketika petugas melakukan overhaul tanpa persiapan yang memadai.
Kejadian ini menunjukkan pentingnya pemantauan thermal yang kontinyu selama fase peluruhan.
Kebakaran Pergudangan Surabaya mendemonstrasikan kompleksitas ventilasi pada fase peluruhan. Pembukaan ventilasi yang tidak tepat waktu menyebabkan flare-up yang membahayakan petugas.
Studi kasus ini menekankan pentingnya koordinasi yang baik antara petugas lapangan dan komandan operasi.
Implementasi praktis dari pembelajaran ini memerlukan pendekatan yang sistematis dan terstruktur.
Pelatihan reguler, simulasi realistic, dan evaluasi berkelanjutan menjadi kunci keberhasilan implementasi pengetahuan tentang tahapan peluruhan dalam operasi pemadaman kebakaran.
Pelatihan dan Sertifikasi K3 untuk Penanganan Kebakaran
Mengingat kompleksitas dan risiko yang terkait dengan tahapan peluruhan, pelatihan dan sertifikasi K3 yang komprehensif sangat penting untuk memastikan keselamatan operasional.
Rekapura sebagai penyedia jasa pelatihan K3 dan pemeriksaan alat industri terkemuka di Indonesia (rekapura.com) menawarkan program pelatihan yang komprehensif untuk penanganan kebakaran pada berbagai tahapan, termasuk fase peluruhan.
Program Pelatihan Operator K3 yang disediakan oleh Rekapura mencakup pemahaman mendalam tentang dinamika kebakaran, identifikasi tahapan, dan teknik penanganan yang tepat untuk setiap fase. Pelatihan ini dirancang sesuai dengan standar nasional dan internasional, dengan penekanan khusus pada aspek praktis dan aplikatif.
Sertifikasi Petugas Tanggap Darurat menjadi kebutuhan wajib untuk personnel yang terlibat dalam operasi pemadaman kebakaran.
Program sertifikasi ini mencakup evaluasi kompetensi teoretis dan praktis, termasuk simulasi penanganan kebakaran pada fase peluruhan.
Sertifikasi ini diakui secara nasional dan dapat menjadi syarat untuk posisi-posisi strategis dalam manajemen keselamatan kerja.
Pelatihan Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran juga tersedia untuk memastikan bahwa peralatan yang digunakan dalam operasi pemadaman berfungsi optimal.
Pelatihan ini mencakup inspeksi, testing, dan maintenance berbagai jenis peralatan pemadam kebakaran, termasuk yang digunakan khusus untuk penanganan fase peluruhan.
Program Refresher dan Update secara berkala diperlukan untuk memastikan bahwa pengetahuan dan keterampilan petugas tetap up-to-date dengan perkembangan teknologi dan regulasi terbaru.
Rekapura menyediakan program-program ini dengan fleksibilitas jadwal yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan organisasi.
Sumber
- Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia. (2014). Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman dan Persyaratan Umum Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Jakarta: Kementerian Ketenagakerjaan RI.
- Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2012). Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Jakarta: BNPB.
- Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia. (2018). Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja. Jakarta: Kementerian Ketenagakerjaan RI.
- Badan Standardisasi Nasional. (2000). SNI 03-3989-2000 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan Sistem Sprinkler Otomatis untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran. Jakarta: BSN.
- Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 9 Tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Ruang Terbatas. Jakarta: Kementerian Ketenagakerjaan RI.
- Pemerintah Republik Indonesia. (2012). Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Sekretariat Negara RI.